Makalah Hukum Kesehatan

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika kesehatan merupakan tuntunan yang dipandang semakin perlu, karena etika kesehatan membahas tentang tata susila dokter dalam menjalankan profesi, khususnya yang berkaitan dengan pasien. Oleh karena itu tatanan kesehatan secara normatif menumbuhkan pengembangan hukum kesehatan bersifat khusus (Lex specialis) yang mengandung ketentuan penyimpangan/eksepsional jika dibandingkan dengan ketentuan hukum umum (Lex generale).


Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri istimewa yaitu beraspek: (1) Hak Azasi Manusia (HAM), (2) Kesepakatan internasional, (3) Legal baik pada level nasional maupun internasional, (4) Iptek yang termasuk tenaga kesehatan professional. Komponen hukum kesehatan tumbuh dari keterpaduan hukum administrasi, hukum pidana, hukum perdata dan hukum internasional. Dalil yang berkembang dalam hukum kesehatan dan pelayanan kesehatan dapat mencakup legalisasi dalam moral dan moralisasi dalam hukum sebagai suatu dalil yang harus mulai dikembangkan dalam pelayanan kesehatan. Secara normatif menurut Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, harus mengutamakan pelayanan kesehatan: 1. Menjadi tanggung jawab pemerintah dan swasta dengan kemitraan kepada pihak masyarakat. 2. Semata-mata tidak mencari keuntungan. Dua batasan nilai norma hukum tersebut perlu ditaati agar tidak mengakibatkan reaksi masyarakat dan tumbuh konflik dengan gugatan/tuntutan hukum. (http://sumberpencarianartikel.com/aspek-hukum-dalam-pelayanan-kesehatan/#)


B.    Rumusan Masalah

1.  Bagaimana sistem kesehatan di Indonesia?
2.  Bagaimana Undang-Undang kesehatan di Indonesia?
3.  Bagaimana Hubungan Dokter dan Pasien?
4.  Bagaimana Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Sistem Kesehatan di Indonesia
    Sistem kesehatan adalah suatu jaringan penyedia pelayanan kesehatan (supply side) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand side) di setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut, dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk material. Sistem kesehatan tidak terbatas pada seperangkat institusi yang mengatur, membiayai, atau memberikan pelayanan, namun juga termasuk kelompok aneka organisasi yang memberikan input pada pelayanan kesehatan, utamanya sumber daya manusia, sumber daya fisik (fasilitas dan alat), serta pengetahuan/teknologi (WHO SEARO, 2000). Organisasi ini termasuk universitas dan lembaga pendidikan lain, pusat penelitian, perusahaan kontruksi, serta serangkaian organisasi yang memproduksi teknologi spesifik seperti produk farmasi, alat dan suku cadang.
    WHO mendefinisikan sistem kesehatan sebagai seluruh kegiatan yang mana mempunyai maksud utama untuk meningkatkan dan memelihara  kesehatan. Mengingat maksud tersebut di atas, maka termasuk dalam hal ini tidak saja pelayanan kesehatan formal, tapi juga non formal, seperti halnya pengobatan    tradisional. Selain aktivitas kesehatan masyarakat tradisional seperti promosi kesehatan   dan pencegahan penyakit, peningkatan keamanan lingkungan dan jalan raya , pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan merupakan bagian dari sistem.
    Sistem kesehatan paling tidak mempunyai 4 fungsi pokok yaitu: Pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, penyediaan sumberdaya dan stewardship/ regulator. Fungsi-fungsi tersebut akan direpresentasikan dalam bentuk sub-subsistem dalam sistem kesehatan, dikembangkan sesuai kebutuhan. Masing-masing fungsi/subsistem akan dibahas tersendiri. Di bawah ini digambarkan bagaimana keterkaitan antara fungsi-fungsi tersebut dan juga keterkaitannya dengan tujuan utama Sistem Kesehatan. (http://kebijakankesehatanindonesia.net/?q=node/481)

B.    Undang-undang Kesehatan di Indonesia
    Hukum kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang relatif masih baru di Indonesia. Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan mencakup penerapan hukum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Subyek-subyek hukum dalam sistem hukum kesehatan adalah:
a. Tenaga kesehatan sarjana yaitu: dokter, dokter gigi, apoteker dan sarjana lain di bidang kesehatan.
b. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah; (1). bidang farmasi (2). bidang kebidanan (3). bidang perawatan (4). bidang kesehatan masyarakat, dll. 
    Dalam melakukan tugasnya dokter dan tenaga kesehatan harus mematuhi segala aspek hukum dalam kesehatan. Kesalahan dalam melaksanakan profesi kedokteran merupakan masalah penting, karena membawa akibat yang berat, terutama akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi kesehatan. Suatu kesalahan dalam melakukan profesi dapat disebabkan karena Kekurangan; (1) pengetahuan (2) pengalaman (3) pengertian. Ketiga faktor tersebut menyebabkan kesalahan dalam mengambil keputusan atau penilaian. Contoh: kejadian tindakan malpraktek Malpraktek adalah suatu tindaka praktek yang buruk, dengan kata lain adalah kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya, apabila hal tersebut diadukan kepada pihak yang berwajib, maka akan diproses secara hukum dan pihak pengadilan yang akan membuktikan apakah tuduhan tersebut benar atau salah. Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kelalaian dalam menjalankan profesi ialah; 

1. Meningkatkan kemampuan profesi para dokter untuk mengikuti kemajuan ilmu kedokteran atau menyegarkan kembali ilmunya, sehingga dapat melakukan pelayanan medis secara profesional.Dalam program ini perlu diingatkan tentang kode etik dan kemampuan melakukan konseling dengan baik.
2. Pengetahuan pengawasan perilaku etis. Upaya ini akan mendorong dokter untuk senantiasa bersikap hati-hati. Dengan berusaha berperilaku etis, sehingga semakin jauh dari tindakan melanggar hukum. 3. Penyusunan protokol pelayanan kesehatan, misalnya petunjuk tentang “informed consent”. Protokol ini dapat dijadikan pegangan bilamana dokter dituduh telah melakukan kelalaian. Selama dokter bertindak sesuai dengan protokol tersebut, dia dapat terlindung dari tuduhan malpraktek.. Beberapa contoh malpraktek di bidang hukum pidana:
1. Menipu Pasien
2. Membuat surat keterangan palsu
3. Melakukan pelanggaran kesopanan
4. Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis
5. Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau lukaluka
6. Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh pasien
7. Kesengajaan membiarkan pasien tidak tertolong
8. Tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut
9. Memberikan atau menjual obat palsu
10. Euthanasia
    Keberhasilan pembangunan nasional telah meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap pelayanan jasa-jasa yang mereka terima, termasuk pelayanan dokter, perawat, bidan, apoteker, dan lain-lain. Dengan meningkatnya kesadaran hukum ini, tidak jarang masyarakat mencampurbaurkan antara etika dan hukum. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak mengetahui perbedaan dari keduanya yang sama-sama berpegang pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat. (http://sumberpencarianartikel.com/)

C.    Hubungan Dokter dan Pasien
      Timbulnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien Dengan semakin meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan, yang antara lain disebabkan karena meningkatnya tingkat pendidikan, kesadaran masyarakat akan kebutuhan kesehatan, maka akan meningkat pula perhatian masyarakat tenang hak-haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu dengan pelayanan yang lebih luas dan mendalam. Adanya spesialisasi dan pembagian kerja akan membuat pelayanan kesehatan lebih merupakan kerjasama dengan pertanggungjawaban diantara sesama pemberi bantuan, dan pertanggungjawaban terhadap pasien.
      Dengan demikian, adanya gejala yang demikian itulah mendorong orang untuk berusaha menemukan dasar hukum ( yuridis ) bagi pelayanan kesehatan yang sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum, walaupun hal tersebut sering kali tidak disadari oleh dokter. Secara yuridis timbulnya hubungan antara dokter dan pasien bisa berdasarkan dua hal, yaitu :
1. Berdasarkan perjanjian
2. Karena Undang-undang
Setelah kita mengerti hubungan antara pasien dan dokter, maka perlu lah kita mengerti hubungan antara hak dan kewajiban yang dimiliki pasien serta dokter.

2.1. Berdasarkan Perjanjian
      Timbulnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat pasien datang ketempat praktek dokter atau ke rumah sakit dan dokter menyanggupinya dengan dimulai anamnesa (tanya jawab) dan pemeriksaan oleh dokter. Dari seorang dokter harus dapat diharapkan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan pasiennya. Dokter tidak bisa menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan sangat tergantung kepada banyak faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit, komplikasi dan lain-lain). Dengan demikian maka perjanjian antara dokter - pasien itu secara yuridis dimasukkan kedalam golongan inspannings verbitenis. Sedangkan segala peraturan yang mengatur tentang perjanjian tetaplah harus tunduk pada peraturan dan ketentuan dalam KUH Perdata. Ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata itu diatur dalam buku III yang mempunyai sifat terbuka, dimana dengan sifatnya yang terbuka itu akan memberikan kebebasan berkontrak kepada para pihaknya, dengan adanya asas kebebasan berkontrak memungkinkan untuk setiap orang dapat membuat segala macam perjanjian.
      Segala bentuk perjanjian harus tunduk pada ketentuan umum Hukum perdata Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi “Semua Perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”.
     Selain asas kebebasan berkontrak suatu perjanjian juga harus menganut asas konsensualitas, dimana asas tersebut merupakan dasar dari adanya sebuah perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak dimana adanya kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian. Di dalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjanjian tersebut disepakati oleh para pihak, maka perjanjian itu akan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya hal itu diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.
      Disamping kedua asas diatas ada satu faktor utama yang harus dimiliki oleh para pihak yaitu adanya suatu i’tikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang berbunyi : “ Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan i’tikad baik”.

2.2. Berdasarkan Undang-Undang
      Di Indonesia hal ini diatur didalam KUH Perdata Pasal 1365 tentang perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) yang berbunyi : Setiap perbuatan yang melanggar hukum sehingga membawa kerugian kepada orang lain, maka sipelaku yang menyebabkan kerugian tersebut berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut. 
      Perbuatan melanggar hukum "sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku atau bertentangan dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain". ("dat onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders rechtsplicht of indruist, hetzij tegen de goede zeden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamtten aanzien van eens anders persoon of goed).
      Jika seorang dokter tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di atas, maka ia dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum, melanggar ketentuan yang ditentukan oleh Undang-Undang karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dapat diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga masyarakat. 
      Sedangkan yang dimaksud dengan "kepatutan, ketelitian dan hati-hati" tersebut adalah standar-standar dan prosedur profesi medis di dalam melakukan suatu tindakan medis tertentu. Namun standar-standar tersebut juga bukan sesuatu yang tetap karena pada waktu-waktu tertentu, harus lah diadakan evaluasi untuk dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian kepada orang lain dapat pula dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam Pasal 1366 yang berbunyi : “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja terhadap kerugian yang ditimbulkan karena suatu tindakan, tetapi juga yang diakibatkan oleh suatu kelalaian atau kurang hati-hati.”
      Selain itu seseorang juga bertanggungjawab terhadap tindakan atau kelalaian / kurang hati-hati dari orang-orang yang berada di bawah perintahnya. Hal ini dirumuskan di dalarn Pasal 1367 yang berbunyi : “Seseorang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditim bulkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga bertanggungjawab terhadap tindakan dari  orang-orang yang berada di bawah tanggung-jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”

2.3. Hak  dan Kewajiban Pasien
      Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individu dalam didang kesehatan, the right of self determination. Dalam hubungan dokter – pasien, secara relatif pasien berada dalam posisi yang lemah. Kekurang mampuan pasien untuk membela kepentingannya dalam situasi pelayanan kesehatan, menyebabkan timbulnya hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional kesehatan terabaikan. Hubungan antara dokter dengan pasien, sekarang adalah partner dan kedudukan keduanya secara hukum adalah sama. Pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu, demikian pula dokternya. Secara umum pasien berhak atas pelanyanan yang manusiawi dan perawatan yang bermutu.  
      Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik, No.02.04.3.5.2504 tahun 1997, tetang pedoman hak dan kewajiban dokter, pasien dan rumah sakit. SE Dirjen Yan Med terebut didasarkan pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan berbagai pertimbangan hukum, etik kedokteran, hak-hak dokter dan hak-hak pasien (Surat Edaran Dirjen Yanmed, 1997).
      
Adapun beberapa kewajiban yang harus pasien tunaikan agar membantu proses pengobatan yang dilakukan dan mencapai hasil pengobatan yang optimal, antara lain :
1.    Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib di klinik/rumah sakit.
2.    Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya.
3.    Pasien berkewajiban memberikan informasi dengan jujur dan selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat.
4.    Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk memberi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/ dokter.
5.    Kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
6.    Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
7.    Memberikan informasi lengkap tentang perjalanan penyakit, pengobatan yang sudah diperoleh, berapa lama menderita sakit, perubahan fisik, mental, tindakan pengobatan dan perawatan yang lalu.
8.    Bersedia diperiksa dalam kaitannya penegakan diagnosis, menentukan prognosis.
9.    Mematuhi nasehat dokter untuk mengurangi penderitaan akibat penyakit dan bersedia untuk berpartisipasi menjaga kesehatannya.
10.    Memberi imbalan jasa.
11.    Menjaga kehormatan profesi dokter.
12.    Kewajiban memberi kesempatan cukup agar dokter dapat bekerja  dengan baik.
      Selain kita mengerti yang menjadi apa saja yang menjadi kewajiban pasien, maka ada pula beberapa hak yang dimiliki pasien, yaitu:
1.    Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien.
2.    Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
3.    Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
4.    Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
5.    Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
6.    Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
7.    Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.
8.    Pasien berhak atas "privacy" dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
9.    Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
a.       Penyakit yang diderita.
b.      Tindakan medik apa yang hendak dilakukan.
c.       Kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya.
d.      Alternatif terapi lainnya.
e.       Prognosanya.
f.       Perkiraan biaya pengobatan.
10.    Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
11.    Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
12.    Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
13.    Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
14.    Pasien berhak atas keamanan/keselamatan/kenyamanan agar terhindar akan risiko, kesehatan, efek samping atau hal-hal yang merugikan pasien selama dalam perawatan dokter.
15.    Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
16.    Class action (gugatan kelompok) harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
17.    Mengenal identitas dokternya. Pasien agar memahami karakter dokter dan memilih dokter yang bersahabat.
18.    Pasien memperoleh informasi secukupnya terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh dokter.
19.    Hak memperoleh pelayanan yang berkesinambungan, sebagai follow up pelayanan, evaluasi.
20.    Memperoleh perlindungan keamanan (patient safety) semenjak saat dokter telah mempersilahkan pasien untuk duduk/dokter siap memeriksa sampai selesai pelayanan.
21.    Mendapat penjelasan besarnya biaya yang akan dikeluarkan secara cafetaria yang disesuaikan dengan kelas pelayanan.
22.    Mempunyai hak untuk mendapat second opinion dari dokter lain tentang penyakitnya.
23.    Pasien mempunyai hak menolak dalam pemberian persetujuan terhadap kontrak terapeutik yang tidak tertulis dan tidak dibuat atas transaksi. Dengan kemajuan teknologi, maka perlu disampaikan kepada pasien bahwa penggunaan alat-alat yang canggih, namun dapat menyebabkan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, resiko tindakan, efek samping yang kadang-kadang dokter tidak mengetahui dengan betul dan dapat saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

2.4. Hak dan Kewajiban Dokter
      Dalam menjalankan profesinya dokter harus memiliki kecerdasan moral, kearifan intelektual dan kesadaran spiritual. Di samping itu dokter mempunyai kewajiban, antara lain :
1.    Dokter wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.
2.    Dokter wajib merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3.    Dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
4.    Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
5.    Dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
6.    Dokter wajib memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
7.    Dokter wajib membuat rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.
8.    Dokter wajib terus-menerus menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
9.    Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
10.    Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/pekerjaan yang telah dibuatnya.
11.    Dokter wajib bekerja sama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal-balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
12.    Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.
13.    Dalam diagnosis dan pengobatan dokter mempunyai tanggung jawab paling besar. Seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya wajib melakukan upaya yang terbaik untuk senantiasa memberi pelayanan yang terbaik, mendahulukan kepentingan pasiennya, profesional dan akuntabel.
14.    Dokter mempunyai kewajiban untuk menjaga kesehatan fisik, rohani dan spiritual dengan istirahat cukup untuk memulihkan kondisi fisik, rohani dan spiritual.
15.    Dokter wajib memberikan pelayanan yang berkualitas, senantiasa wajib belajar, meningkatkan pengetahuannya, ketrampilan dan menjaga mutu kompetensinya. 

      Dalam menjaga profesinya dokter benar-benar menjaga kehormatan dan integritas profesi. Di antara dokter ada yang belum memberikan pelayanan profesional, namun masih banyak dokter yang menjunjung profesinya sebagai profesi mulia, walaupun tidak mendapat imbalan. Apabila dokter telah berikrar untuk membuka praktek, maka sudah harus siap memberi pelayanan terhadap pasien yang datang. Selain itu dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter serta memberikan surat keterangan bagi pasien mengenai berbagai kepentingannya (selain yang membahayakan jiwa pasien sendiri, orang lain, dan hukum).
      Selain memiliki tanggung jawab, dokter juga memiliki hak-hak yang dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan, hukum, dan personal individu sebagai manusia. Adapun hak-haknya, yaitu sebagai berikut:
1.    Dokter berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2.    Dokter berhak untuk bekerja menurut standar profesi serta berdasarkan hak otonomi. (Seorang dokter, walaupun ia berstatus hukum sebagai karyawan RS, namun pemilik atau direksi rumah sakit tidak dapat memerintahkan untuk melakukan  sesuatu tindakan yang menyimpang dari standar profesi atau keyakinannya).
3.    Dokter berhak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4.     Dokter berhak menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila misalnya hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi, kecuali untuk pasien gawat darurat dan wajib menyerahkan pasien kepada dokter lain.
5.    Dokter berhak atas privasi (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan  oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau memalukan).
6.     Dokter berhak untuk mendapat imbalan atas jasa profesi yang diberikannya berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/peraturan yang berlaku di RS.
7.     Dokter berhak mendapat informasi lengkap dari pasien yang dirawatnya atau dari keluarganya.
8.    Dokter berhak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
9.     Dokter berhak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun oleh pasien.
10.     Hak rehabilitasi nama baik jika terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
11.    Hak untuk memilih barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat b) : dalam keadaan darurat untuk keselamatan pasien, dokter dapat memberikan jasa pelayanan kesehatan, meskipun tidak dipilih oleh pasien.
12.    Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur (pasal 4 ayat c) : dalam keadaan tertentu untuk kepentingan pasien, dokter dapat menahan sebagian atau keseluruhan informasi tersebut.
13.    Dokter dapat menolak pasien yang tidak dalam keadaan gawat darurat yang datang diluar jam bicara.
      Hubungan dokter dan pasien berakhir manakala pasien dirujuk ke dokter lain yang diteruskan dengan perawatan lanjutan. Pendek kata dokter harus memiliki kecerdasan moral, kearifan intelektual dan kesadaran spiritual.

D.    Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien
Pasal 39 Undang-undang Nomor: 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menentukan ”Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.”Yang dimaksud dengan praktik kedokteran dalam ketentuan tersebut adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Hubungan hukum antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam praktik kedokteran timbul,karena adanya kesepakatan antara kedua pihak, atau didasarkan kepada perjanjian diantara mereka.
a.    Terjadinya Perjanjian Terapeutik
Perjanjian antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dikenal dengan nama perjanjian terapeutik.
Untuk terjadinya perjanjian terpeutik, Pasal 45 Undang-undang Praktik Kedokteran menentukan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran yang akan dilakukan oleh  dokter atau dokter gigi terhadap pasiennya, harus mendapat persetujuan. Dan persetujuan tersebut diberikan setelah pasiaen mendapat penjelasan secara lengkap sekurang-kurangnya mencakup:
1.    Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2.    Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3.    Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4.    Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5.    Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Persetujuan pasien yang dikenal dengan informed consent dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Terhadap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Kesepakatan dalam kontrak terapeutik terjadi pada saat pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan terhadap tindakan media yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi ditanda tangani.
Logika hukumnya adalah sebagai berikut. Dokter atau dokter gigi yang membuka praktik dianggap telah melakukan penawaran umum untuk memberikan pelayanan medis sebagai syarat pertama terjadinya kesepakatan. Pasien yang datang untuk dilayani pada dasarnya dianggap menerima penawaran dari dokter atau dokter gigi yang bersangkutan. Namun, karena ada kewajiban hukum bagi dokter atau dokter gigi untuk memberikan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien, maka penjelasan tersebut dipandang sebagai satu rangkaian dengan penawaran. Ketika pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan menanda tangani informed consent, maka terjadilah kesepakatan diantara dokter dan pasien. Menurut Pasal 1233 KUH Perdata kesepakatan tersebut merupakan sumber hukum perikatan.
1.    Fungsi Informed Consent
Adami Chazawi (Ibid,39) mengemukakan informed consent berfungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki.
Bagi pasien,informed consent merupakan penghargaan terhadap hak haknya oleh doktrer dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Lebih lanjut Adami Chazawi mengemukakan bahwa informed consent pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat  yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar dan tidak menyimpang. Walaupun ada persetujuan semacam itu,apabila perlakuan medis dilakukan secara salah sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki,dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.
Informed consent dari asas hukum  perjanjian berfungsi sebaga pemenuhan asas konsensualisme,yang mengandung makna bahwa sejak tercapainya kesepakatan (consensus) diantara para pihak  mengenai pokok pokok isi perjanjian,maka perjanjian sudah terjadi.
Kedua belah pihak sudah terikat sejak tercapainya kesepakatan, untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut dan memperoleh hak haknya sesuai dengan perjanjian atau menurut ketentuan hukum yang berlaku.
2.    Karakteristik Perjanjian Terapeutik    
Perjanjian terapeutik mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, yang terletak pada objek yang diperjanjikan.
Bahder Johan (Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter, 2005:11) mengemukakan ”Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Menurut hukum, objek dalam perjanjian dalam trasaksi terapeutik bukan kesmbuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.”
Sementara itu Adami Chazawi (Malpraktik Kedokteran, 2007:44) mengemukakan ”Kontrak terapeutik antara dokter-pasien bukan termasuk perjanjian  resultaats karena objek perjanjian  bukan hasil pelayanan medis oleh dokter, tetapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter.”
Perikatan hukum dokter-pasien oleh pakar hukum dimasukkan dalam jenis perikatan yang disebut inspanningsverbintenis yaitu suatu perikatan dimana dokter menjanjikan suatu upaya atau usaha yang terbaik sesuai dengan bidang keahliannya untuk melakukan serangkaian tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk  penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien.
Ukuran upaya yang terbaik dalam hubungan ini adalah sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebutuhan medis pasien, dan standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
Hubungan antara dokter dan pasien dalarr ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis; hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.Jadi hubungan dokter yang semula bersifat patemalistik akan bergeser menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai ‘partner’.
Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan, yaitu:
1. Activity – passivity.
Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien.Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
2. Guidance – Cooperation.
Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya orangtua dengan remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak semata-rna ta menjalankan kekuasaan, namun meng harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.

3. Mutual participation.
Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan mental tertentu.
Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak. Di mulai dengan tanya jawab (anarnnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter rnenegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupak suatu ‘working diagnosis’ atau diagnosis semenrars, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan dokter pasien tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan Perencanaan terapi, dokter melakukan pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis). Pembuatan rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai dengan dipenuhinya standar profesi medis. Dalam upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter biasanya melakukan suatu tindakan medik. Tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara material, suatu tindakan medis itu sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-Syarat sebagai berikut:
1.    rnempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit.
2.    dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran kedua syarat ini dapat juga disebut seba bertindak secara lege artis.
3.    harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.
Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah tindakan medis itu dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas hal ini menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medis tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif. Dalam hukum administratif, masalahnya berkenaan antara 
lain dengan kewenangan yuridis untuk melaku tindakan medis. Dokter yang berpraktek harus mempunyai izin praktek yang sah. Ditinjau segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan (perjanjian) antara dokter dan pasien. Apabila tidak terpenuhinya syarat suatu perikatan, misalnya pada pasien tidak sadar maka keadaan ini bisa dikaitkan dengan K U H Perdata pasal 1354 yaitu yang mengatur “zaakwaarneming’atau perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap tindak yang pada dasar nya merupakan pengambil-alihan peranan orang lain yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban si pengambil-alih itu, namun tetap melahirkan tanggung jawab yang harus di pikul oleh si pengambil-alih tersebut atas segala sikap tindak yang dilakukannya.
Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu
1. resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja, artinya suatu perjanjian yang akan memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
2. inspanningsverbintenis, yang berdasar¬kan usaha yang maksimal (perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan
Pada umumnya, secara hukum hubungan dok¬ter-pasien merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar se¬kuatnya agar pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil kerja pada keadaan-¬keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota badan palsu, oleh dokter gigi atau ahli orthopedi.
Perbedaan antara kedua jenis perjanjian terse¬but secara yuridis terletak pada beban pembukti¬annya. Pada inspanningsverbintenis, penggugat yang harus mengajukan bukti-bukti bahwa ter¬dapat kelalaian pada pihak dokter atau rumah sakit sebagai tergugat. Sebaliknya pada resulta¬atverbintenis, beban pembuktian terletak pada dokter.
Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Untuk sahnya perjanjian terapetik, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai perjanjian, maka harus dipenuhi syarat-syarat (unsur-unsur) yang ditentukan dalam Pasal 1320 K U H Perdata, sebagai berikut:
1 . Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan,
2, Kecakapan untuk membuat suatu perikat¬an,
3. mengenai Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal/diperbolehkan.
Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif yang harus dipenuhi, yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap untuk membuat suatu perjanjian (persyaratan dari subjek yang me¬lakukan kontrak medis), sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek kontrak medis tersebut. Apabila dilihat terutama dari persyaratan subyektifnya, maka perjanjian medis mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya.
Ad. 1. Kesepakatan
Dalam kesepakatan harus memenujhi kriteria Pasal 1321 KUH Perdata, “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Jadi secara yuridis bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari para pihak yang mengikatkan dirinya. Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dimana kedua belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam transaksi terapetik pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan di dalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent (persetujuan tindakan medik)
Dalam perjanjian medis, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal khusus. Di sini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter. Oleh karena itu syarat ini menjelma dalam bentuk “informed consent”, suatu hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. Secara yuridis “informed consent’ merupakan suatu kehendak sepi¬hak, yaitu dari pihak pasien. Jadi karena surat persetujuan tersebut tidak bersifat sua¬tu persetujuan yang murni, dokter tidak harus turut menandatanganinya. Di sam¬ping itu pihak pasien dapat membatalkan pernyataan setujunya setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut K U H Perdata pasal 1320, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak; pembatalan sepihak da¬pat mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.
Ad. 2. Kecakapan
Pasal 1329 KUH Perdata: setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh uu tidak dinyatakan tak cakap.
Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur minimal 21 tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah meni¬kah. Pasal 1330 K U H Perdata, menyata¬kan bahwa seseorang yang tidak cakap un¬tuk mernbuat perjanjian adalah
a. orang yang belum dewasa; ( Pasal 330 K U H Perdata adalah belum ber¬umur 21 tahun dan belum menikah)
b. mereka yang ditaurh dibawah pengampuan (Berada dibawah pengampuan, yaitu orang yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental)
c. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan (dalarn hal ini masih berstatus istri) pada umumnya semua orang kepada siapa uu telah melarang mern¬buat perjanjian-perjanjian tertentu.
Oleh karena perjanjian medis mempunyai sifat khusus maka tidak semua ke¬tentuan hukum perdata di atas dapat diterapkan. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.: 585/MEN-KES/PER/IX/1989 Pasal 8 ayat (2) yang dimaksud dewasa adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah maka transaksi terapetik harus ditandatangani oleh ortu atau walinya yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuannya. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam prakteknya. Dokter tidak mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang datang sendirian ke tempat prakteknya. Untuk mengatasi hal tersebut ketentuan hukum adat yang rne¬nyatakan bahwa seseorang dianggap de¬wasa bila ia telah ‘kuat gawe’ (bekerja), mungkin dapat dipergunakan. (orang dewasa yang tidak cakap seperti orang gila, tidak sadar maka diperlukan peresetujuan dari pengampunya) sedang anak dibwah umur dari wali/ortunya.
Pasal 108 K U H Perdata, menyebut¬kan bahwa seorang istri, memerlukan izin tertulis dari suaminya untuk membuat suatu perjanjian. Akan tetapi surat edaran Mahkamah Agung No 3/1963 tanggal 4 Agus¬tus 1963 menyatakan bahwa tidak adanya wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin atau tanpa bantuan suaminya, tidak berlaku lagi. Jadi wanita yang berstatus istri yang sah diberi kebebas¬an untuk membuat pedanjian.
Ad. 3. Hal tertentu
Ketentuan mengenai hal tertentu ini, menyangkut objek hukum atau benda nya (dalam hal ini jasa) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya. Dalam suatu perjanjian medis umumnya objeknya adalah “usaha penyembuhan”, di mana dokter/R.S, harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Oleh karena itu secara yuridis, kontrak terapeutik itu umum¬nya termasuk jenis “inspanningsverbintenis”, di mana dokter tidak memberikan jaminan akan pasti berhasil menyembuhkan penyakit tersebut.
Ad. 4. Sebab yang halal
Dalam pengertian ini, pada objek hukum yang meniadi pokok perjanjian tersebut harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum. Dengan perkataan lain objek hukum tersebut harus memiliki sebab yang diizinkan. K U H Perdata pasal 337 menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan atau ketertiban umum. Misalnya dokter dilarang melakukan abortus provocatus crirninalis menurut K U H P pasal 344.
Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka kita dapat merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan atau pelayanan medis. Tahapan pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi variasi objek perjanjian medis dapat merupakan
1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada dalam kondisi sehat atau cenderung mengalami suatu kelainan dalam taraf dini. Hal ini berkaitan dengan usaha promotif yang bertujuan memelihara atau meningkatkan kesehatan secara umum.
2. Imunisasi
Tindakan ini ditujukan untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu bagi seseorang yang mempunyai risiko terkena. Misalnya anggota keluarga dari pasien yang menderita Hepatitis B, dianjurkan sekali untuk mendapatkan vaksinasi Hepatitis B. Usaha preventif ini bersifat spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.
3. Keluarga Berencana
Pasangan suami istri yang ingin mencegah kelahiran atau ingin mempunyai keturunan, secara umum mereka berada dalam keadaan sehat. Usaha ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga secara umum.
4. Usaha penyembuhan penyakit
Sifat tindakan di sini adalah kuratif, Untuk menyembuhkan penyakit yang akut atau relatif belum terlalu lama di derita.
5. Meringankan penderitaan
Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis sifatnya, hanya menghilangkan gejala saja, karena penyebab Penyakitnya belum dapat diatasi. Misalnya obat-obat penghilang rasa nyeri.
6 . Memperpanjang hidup
Seperti halnya ad.5. , di sini pun penyakit pasien belum dapat diatasi sepenuhnya sehingga sewaktu-waktu perlu dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien gagal ginjal yang memerlukan ‘cuci darah’.
7. Rehabilitasi
Tindakan medis yang dilakukan untuk rehabilitasi umumnya dilakukan terhadap pasien yang cacat akibat kelainan bawaan atau penyakit yang di dapat seperti luka bakar atau trauma. Ada pula mereka yang sebenamya sehat tetapi merasa kurang cantik sehingga menginginkan dilakukan suatu bedah kosmetik. Tindakan ini yang kadang menimbulkan masalah apabila harapan yang didambakan untuk memperoleh kecantikan yang dijanjikan tidak terpenuhi.
Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat menjadi objek hukum yang sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya harus jelas apakah inspanningsverbintenis atau suatu resultaatsverbintenis. Hal ini penting dalam kaitamya dengan ‘beban pembuktian’ apabila terjadi suatu gugatan hukum. Akan tetapi apabila dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur kelalaian serta hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang saling pe¬nuh pengertian, umumnya tidak akan ada permasalahan yang menyangkut jalur hukum.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.  Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia, sehingga tidak mengherankan jika dewasa ini aspek hukum juga terkait dengan bidang kesehatan.
2.  Dalam melaksanakan profesi seorang dokter harus mentaati etik kedokteran supaya terhindar dari jeratan hukum kedokteran yang merupakan bagian dari hukum kesehatan.
3.  Dewasa ini malpraktek masih sering terjadi, meskipun peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal tersebut telah ada.


DAFTAR PUSTAKA
(http://sumberpencarianartikel.com/aspek-hukum-dalam-pelayanan-kesehatan/#)
(http://kebijakankesehatanindonesia.net/?q=node/481)
(http://sumberpencarianartikel.com/)
(http://eprints.undip.ac.id/6253/1/Kebijakan_Kesehatan)

By.Selmi Lase Universitas Ichsan Gorontalo 
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Goresan®Gorontalo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger